Maurice Merleau-Ponty





     ABSTRACT
Maurice Merleau-Ponty adalah seorang filsuf fenomenologi, "kesadaran" abad 20 Salah satu teori Pounty dapat dilihat dari caranya melakukan kritisisme, dari hipotesa yang dilakukan secara psikologi, dia berpendapat bahwa manusia melakukan tindakan berawal dari refleksi psikologinya. Dari perilaku yang dia jadikan "tanda" atau fenomena, maka dapat kita peroleh data tentang seseorang terkait prinsip hidup yang menjadikannya bertindak. Ia disebut-sebut sebagai ahli fenomenologi terkemuka Perancis. Phenomenology of Perception merupakan karya besar dan karya penting Merleau-Ponty . Dalam pandangan filosofi Merleau-Ponty,  fenomenologi penting agar manusia mampu mencapai esensi-esensi suatu persoalan. Merleau-Ponty lalu berbicara tentang keniscayaan untuk melakukan reduksi fenomenologis, di mana suatu fakta atau dimensi dibiarkan untuk tidak berhubungan dengan fakta atau dimensi lain. Pandangan ini dapat dilukiskan dengan ilustrasi tentang seorang peneliti yang meneliti kemiskinan.

PENDAHULUAN
 Untuk memahami keutuhan kesadaran dan tubuh, merleau-ponty harus mengeksplisitkan penghayatan manusia yang berada pada tarap prareflektif, yakni sebelum di definisikan oleh filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Pendekatan yang paling sesuai untukmaksud ini adalah fenomenologi. Merleau-ponty dkenal sebagai  filsuf prancis yang paling murni menjalankan fenomenologi. Sebagai alat analisis, fenomenologi memiliki kemungkinan yang luas untuk mengungkit struktur-struktur penghayatan yang belum dirumuskan melalui ilmu-ilmu. Fenomenologi merupakan metode yang berusaha melukiskan apa yang tampa secara langsung  bagi kesadaran, yaitu fenomena. Dengan demikian fenomenologi berusaha memahami kenyataan sebagaimana adanya. Kenyataan itu merupakan kenyataan yang belum ditafsirkan oleh ilmu-ilmu positif ataupun filsafat.
Sejak awal abad 20 sudah nampak terlihat ada tendensi dari ilmu pengetahuan ataupun filsafat bahwa melihat kenyataan dari satu sudut pandang saja, yaitu sidut pandang ilmiah atau positivistic yang berkembang pada 19. oleh Edmund husserl tendesi positivistic dan naturalistic yang sekarang menghasilkan scientisme ini jelas sangat di kritik, karena dengan memberi tafsiran yang bersifat saintis kepada kennyataan dan manusia makna manusia sebagai eksistensi dihapus atau diabaikan. Naturalisme memahami kenyataan alamiah “sebagai suatu kesatuan kenyataan ruang dan waktu yang diatur oleh hukum-hukum alam yang niscaya”. Dengan adanya penafsiran seperti ini jelas terlihat bahwa kenyataan dan manusia dianggap sebagai fakta alamiah yang baku, yang hanya menjadikan manusia sebagai objek semata. Positivisme memahami manusia sebagai suatu kenyataan sejauh bersifat objektif.  Menurut Husserl, positifisme ini telah mereduksi eksistensi berikut kesadarannya pada kutub lahiriahnya dan tidak melihat bahwa kesadaran manusia mampu memberi makna pada kenyataan.
Oleh karena itu Husserl mengganti paradigma positifistik dan naturalistic dengan paradigma lain yang cukup terkenal yaitu yang sekarang kita kenal dengan istilah lebenswelt (dunia kehidupan). Lebenswelt adalah dunia sebagaimana ku-hayati, yaitu dunia sehari-hari. Yang dimaksud disini bukanlah dunia “riil” menurut kategori-kategori filosofis sebagaimana dua corak filsafat yang sangat besar yaitu idealisme dan realisme, melainkan suatu dunia yang belum ditafsirkan oleh ilmu pengetahuan dan filsafat. (K.bertens.2002: ) lebenswelt adalah dunia yang disadari secara pra-ilmiah, prafilosofis, dan prareflektif yaitu suatu dunia yang non tematis. Dunia seperti ini dewasa ini telah lenyap karena adanya dominasi filsafat dan sains. Untuk mengembalikan kembali dunia yang telah lenyap ini, husserl menempuh jalan reduksi, yaitu menempatkan diantara “tanda kurung” setiap penafsiran ilmiah dan filosofis atas dunia itu sehingga pada akhirnya muncul suatu dunia dalam kesadaran atau benda pada dirinya sendiri. (B.Hardiman. 2010:39) apa yang lalu disebut reduksi fenomenologis atau epoche itu cocok dengan semboyan husserl “zuruck zu den sachen selbst” (kembali pada benda-benda itu sendiri). Dengan kata lain dunia yang hilang itu ditemukan dengan intuisi atau kesadaran langsung yang menangkap dunia itu. (B.Hardiman. 2010:39)
Kesadaran ini mampu menangkap dunia secara langsung karena kesadaran selalu terarah pada sesuatu atau disebut intensionalitas. Kesadaran ini disebut kesadaran akan sesuatu. Dalam setiap aktifitas kesadaran selalu terbagi dua yaitu subjek yang sadar akan sesuatu (noesis) dan objek yang diketahui (noema). Kesadran kita tidak pernah meruupakan kesadran pada dirinya. Kesadrna murni semacam itu pernah ditemukan oleh Descartes pada awal modern sebagai cogito tertutup.  Menurut husserl kesadran itu selalu bersifat intensionalitas. Dalam hal ini husserl ingin mengatakan bahwa apa yang menampakan diri bagi kesadran yaitu fenomena, adalah kenyataan yang menampakan diri. Apa yang menampakan diri itu bukanlah penafsiran kita belaka atas kenyataan melainkan kenyataan itu sendiri yang tampa.



PEMBAHASAN
1.      BiografiMouriceMerleau-Ponty
Maurice Merleau-Ponty adalah seorang filsuf fenomenologi, "kesadaran" abad 20. Aliran filsafatnya mula-mula dipengaruhi oleh fenomenologi dari Husserl dan Heidegger serta Sartre, namun lambat laun di memisahkan diri dan memasukkan teori dari Saussure dalam buku Levi Strauss dalam bidang bahasa.
Ponty lahir pada tahun 1908, dan ditingal mati ayahnya pada Perang Dunia I. Menempuh pendidikan di Lycees Janson-de-Sailly dan Louis-le-Grande, dan pada tahun 1930 mendapat agregasi dalam bidang filsafat di École Normale Supérieure. Dia bersahabat dengan Sartre kurang labih 7 tahun (1945-1952), namun setelah itu dia menjadi penentangnya. Sartre yang gigih dengan eksistensialisme, memisahkah "subyek-obyek", kemudian menjadi Marxisme garis keras ditolak oleh Pounty. Bagi Pounty, melalui pengalaman-pengalaman yang ditemui manusia, maka diperoleh faktor lain untuk mencari "esensi" yang tidak mutlak sama pada setiap orang dari pengalamannya, yaitu ciri bahasa, pencerapan dan tubuh. Dengan begitu manusia tidak selalu menjadi subjek yang berpikir menentukan semuanya, namun dari fenomena yang terjadi, maka realitas sebagai objek dapat berbicara kepada maunusia yang juga adalah objek.
Salah satu teori Pounty dapat dilihat dari caranya melakukan kritisisme, dari hipotesa yang dilakukan secara psikologi, dia berpendapat bahwa manusia melakukan tindakan berawal dari refleksi psikologinya. Dari perilaku yang dia jadikan "tanda" atau fenomena, maka dapat kita peroleh data tentang seseorang terkait prinsip hidup yang menjadikannya bertindak. Selalu ada kaitan antara pengalaman masa lalu yang mempengaruhi perilaku saat ini. Keterhubungan ini terjadi pada neuro-psikologi manusia.
Maurice Merleau-Ponty adalah filosof Perancis yang lahir pada 14 Maret 1908 dan wafat pada 4 Mei 1961. Ia disebut-sebut sebagai ahli fenomenologi terkemuka Perancis. Merleau-Ponty menempuh pendidikan di École Normale Supérieure, Paris, dan berhasil meraih agrégation dalam bidang filsafat pada tahun 1931. Selama Perang Dunia II, ia terlibat dalam kancah peperangan melawan tentara Nazi. Setelah Perang Dunia II usai, pada tahun 1945 Merleau-Ponty diangkat sebagai profesor di University of Lyon.  Sejak 1949, ia mengajar di Sorbonne University, Paris. Ia juga co-editor jurnal ilmiah Les Temps Modernes selama kurun waktu 1945-1952. Penting dicatat, bahwa penerbitan jurnal Les Temps Modernes berada di bawah kepemimpin filosof terkemuka Perancis Jean-Paul Sartre.
Buku-buku penting buah karya Merleau-Ponty adalah (1) The Structure of Behavior yang terbit pada 1965. Versi asli buku ini berbahasa Perancis terbit pada tahun 1942 dengan judul La Structure du comportement. (2)  Phenomenology of Perception yang terbit pada 1962. Versis asli buku ini berbahasa Perancis terbit pada tahun 1945 berjudul Phénoménologie de la perception. Buku-buku lain karya Merleau-Ponty adalah Humanism and Terror (1969), Sense and Non-sense (1964), Consciousness and the Acquisition of Language (1950), In Praise of Philosophy (1953), Adventure in Logic (1973), Signs (1964), The Visible and the Invisible (1968), The Primacy of Perception (1964), The Prose of the World (1974).
Di bawah pengaruh filsafat Edmund Husserl (1859-1938), Merleau-Ponty merumuskan teori perilaku tubuh dan persepsi manusia. Merleau-Ponty kemudian mencuat sebagai filosof yang mengusung pandangan bahwa persepsi merupakan sumber pengetahuan yang bersifat asasi, yaitu jauh sebelum manusia mengenal segala sesuatu yang secara konvensional lalu disebut ilmu pengetahuan.
Phenomenology of Perception merupakan karya besar dan karya penting Merleau-Ponty. Pandangan filosofi Merleau-Ponty yang termaktub ke dalam Phenomenology of Perception itu berhubungan erat dengan apa yang disebut epoché atau reduksi fenomenologis tanpa sikap. Sebagaimana diketahui, fenomenologi merupakan cara bagaimana seseorang menggali pemahaman dari semesta kehidupan. Melalui fenomennologi, seseorang terbuka untuk mengeksplorasi apa saja dalam kehidupan ini untuk kemudian mendapatkan pengetahuan. Dengan fenomenologi, seseorang memiliki “alat penggali” untuk mendapatkan pengetahuan. Bayangkan sebuah alat penggali tanah diberfungsikan demi mendapatkan mineral-mineral yang berharga.
Dalam pandangan filosofi Merleau-Ponty,  fenomenologi penting agar manusia mampu mencapai esensi-esensi suatu persoalan. Merleau-Ponty lalu berbicara tentang keniscayaan untuk melakukan reduksi fenomenologis, di mana suatu fakta atau dimensi dibiarkan untuk tidak berhubungan dengan fakta atau dimensi lain. Pandangan ini dapat dilukiskan dengan ilustrasi tentang seorang peneliti yang meneliti kemiskinan. Jika sekiranya seorang peneliti tiba-tiba berhadapan dengan orang miskin dan sang peneliti harus memahami kehidupan orang miskin tersebut, maka sang peneliti tidak harus memperbandingkan kemiskinan yang sedang ia temui dengan kemiskinan yang terjadi di tempat-tempat lain. Kemiskinan yang ditemukan oleh seorang peneliti direduksi sedemikian rupa untuk tidak dikait-hubungkan dengan kemiskinan dalam pengertiannya yang umum (common characteristic) di ruang waktu yang lain.
2.      History MouriceMerleau-Ponty
1.      PENDIDIKAN
-      lycée Louis-le-Grand in Paris
-      École Normale Supérieure
2.      KARIR
-       Chair of Philosophy at College de France (1952-1961)
-       Lecture at Sorbonne (1949-1952)
-       Political editor untuk jurnal Les Temps modernes (1945-1952)
-       Lecture at Lyon University (1945-1948)
-       Tutor at École Normale Supérieure
-       Teacher at Chartes
3.      PENGHARGAAN
1.    La structure du comportement (1942)
2.    Phénoménologie de la Perception (1945)
3.    Eye and Mind
4.    The Visible and Invisible
3.      PengertianFilsafat
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan, dan pemikiran manusia secara kritis, dan dijabarkan dalam konsep mendasar.[1] Filsafat tidak di dalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen, dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi, dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir, dan logika bahasa.
Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran, dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.
4.      PandanganMouriceMerleau-PontyTerhadapFilsafat
Manusia adalah tubuh sekaligus jiwa.Tanpa jiwa ia bukanlah manusia, melainkan hanya mesin biologis. Tanpa tubuh manusia juga tidak menjadi manusia, karena ia hanya entitas imaterial yang mengambang tanpa basis empiris. Dengan demikian tubuh merupakan aspek penting bagi manusia, baik secara biologis, karena tubuh menunjang kehidupan manusia, maupun secara filosofis, yakni sebagai medium untuk menyentuh dunia dan merealisasikan dirinya sendiri. Tentu saja untuk menjadi otentik, orang harus menghargai dan memahami tubuhnya. Tanpa pemahaman tidak akan ada penghargaan. Dan tanpa penghargaan tidak akan ada penghayatan. Padahal penghayatan akan tubuhnya sendiri sangatlah berperan di dalam pengenalan diri manusia, yang merupakan jalan untuk menuju otentisitas.
Buku Samuel Todes ini merupakan suatu cara untuk merefleksikan tubuh manusia secara filosofis dengan menggunakan kerangka filsafat kontemporer. Menurut Hoffman, di dalam pengantarnya untuk buku itu, Todes menolak dua asumsi yang banyak berkembang di dalam filsafat. Yang pertama adalah asumsi, bahwa penafsiran manusialah yang membentuk realitas. Realitas tidaklah memiliki entitas pada dirinya sendiri yang berdiri mandiri dari pikiran manusia. Oleh karena itu tidak ada data ataupun fakta yang telah terberi, karena semuanya merupakan hasil dari penafsiran manusia. Yang kedua adalah bahwa manusia melulu merupakan produk dari makna yang dibentuk secara sosial.
Tentu saja argumen Todes tidaklah dibangun dari kekosongan, melainkan dari titik pijak yang dibuat oleh para filsuf fenomenolog lainnya yang juga tertarik dengan problem tubuh, seperti Maurice Merleau-Ponty dan Heidegger. Fenomenologi adalah suatu pendekatan di dalam filsafat yang berdiri sebagai alternatif dari idealisme yang telah mendominasi filsafat selama berabad-abad. Secara sederhana idealisme adalah paham di dalam filsafat yang berpendapat, bahwa dunia adalah hasil kontruksi dari pikiran dan ide manusia, serta tidak memiliki realitas otonom pada dirinya sendiri. Sementara fenomenologi adalah pendekatan di dalam filsafat yang ingin memahami realitas pada dirinya sendiri. Fenomenologi mengandaikan bahwa realitas itu mandiri dari pikiran manusia, dan ingin memahaminya tanpa prasangka ataupun bias apapun.
Dengan caranya masing-masing, Heidegger dan Merleau-Ponty ingin merefleksikan keberadaan manusia di dunia dengan sedapat mungkin tidak masuk ke dalam idealisme. Di dalam karya magnum opusnya yang berjudul Being and Time, Heidegger mengajukan tesis mendasar yang nantinya akan dipertahankan di dalam seluruh bukunya, yakni bahwa temporalitas merupakan makna dari ada-nya Manusia. Manusia disebut Heidegger sebagai Dasein, yakni ada-di-sana. Sementara “ada” adalah konsep yang mendasari keberadaan manusia. Akan tetapi temporalitas Dasein (manusia) juga menjadi dasar bagi Ada yang universal. Bahkan dikatakan juga bahwa Dasein adalah satu-satunya pengada yang menanyakan Ada. Oleh karena itu tidak ada yang dapat bermakna, kecuali itu berada di dalam pemaknaan Dasein, karena Ada yang universal itu merupakan simbol dari keseluruhan realitas itu sendiri.
Konsekuensi pandangan Heidegger itu adalah penolakan terhadap realisme, yang berpendapat bahwa realitas memiliki status yang otonom lepas dari pikiran manusia. Menurut Hoffman, Heidegger berpendapat bahwa realisme merupakan suatu bentuk metafisika kehadiran yang masih percaya, bahwa benda memiliki status mandiri dari manusia. Padahal benda di dalam realitas lebih merupakan hasil konstruksi dan pemahaman Dasein. Maka keberadaannya tidaklah mandiri. Inilah inti idealisme Heidegger, menurut tafsiran Hoffman.Sekali lagi Heidegger sangat menekankan, bahwa Ada yang universal, yang merupakan abstraksi dari seluruh realitas, tidaklah independen dari pikiran Dasein, melainkan selalu terkait dengannya. Maka Ada (Being) ini tidaklah mandiri, melainkan terkait dengan manusia. Ia bahkan mengatakan dengan tegas, bahwa hanya manusialah yang bisa mengenali dan memahami.


PENUTUP
Kesimpulan
     Pandanganmouricemerleaupontyterhadapfilsafattentangmanusia, manusiaadalahtubuhdanjiwatanpaadanya 2 haltersebuttidakbisadikatakansebagaimanusia.Dengandemikiantubuhmerupakanhalterpentingdarimanusia., karena tubuh menunjang kehidupan manusia, maupun secara filosofis, yakni sebagai medium untuk menyentuh dunia dan merealisasikan dirinya sendiridanuntukmengenalidirinyasendirimanusiaharusmenghayatitubuhnyasendiri.
Fenomenologi adalah suatu pendekatan di dalam filsafat yang berdiri sebagai alternatif dari idealisme yang telah mendominasi filsafat selama berabad-abad. Secara sederhana idealisme adalah paham di dalam filsafat yang berpendapat, bahwa dunia adalah hasil kontruksi dari pikiran dan ide manusia, serta tidak memiliki realitas otonom pada dirinya sendiri. Sementara fenomenologi adalah pendekatan di dalam filsafat yang ingin memahami realitas pada dirinya sendiri.







*) copas ijin dulu ;)

0 Response to "Maurice Merleau-Ponty"

Post a Comment

Komentar dengan bijak sesuai topik ! :*